Senin, 25 Januari 2016

Kakak

Cerita Sedih

Kakak

Cerita Sedih
Kakak

Saya adalah gadis kecil yang lahir di desa terpencil, Pekerjaan setiah hari orang tuaku adalah membajak sawah. Aku juga mempunyai seorang kakak laki-laki bernama Ikhsan, Dia seorang kakak 3 tahun lebih tua dariku. 

Suatu hari aku ingin membeli sepatu, Karena sepatu yang lama sudah terlihat sobek. Jadi pada saat itu aku mencuri uang di laci Ayahku. Namun ternyata Ayahku terlanjur mengetahuinya. Ayah pun menanyakan hal tersebut padaku dan juga kak Ikhsan, Suara Ayah yang keras dan penuh emosi, Aku terdiam dan takut untuk berbicara. Karena tak satupun dari kami yang mau berbicara akhirnya Ayah memutuskan bahwa kami berdua akan dihukum. Namun tiba-tiba kakak menggengam tangan Ayah dan berkata, Ayah akulah yang telah mencuri uang ayah, dia melakukan itu hanya demi aku. Ditengah malam aku manangis, Namun kakaku mengusap air mataku dan berkata, Adik jangan menangis lagi semua sudah terjadi saat itulah aku tidak akan melupakan ekspresi kaka saat melindungi aku.

Ketika aku diterima di sekolah menengah keatas negeri, Pada saat yang sama kakaku diterima juga untuk masuk universitas negeri ternama. Malam itu saat ayah duduk di halaman rumah, Aku mendengar pembicaraan ayah dan ibu. Ibu mengatakan apa gunanya karena tidak mungkin kita bisa membiayau keduanya. Pada saat itu juga kakaku berjalan keluar dan berdiri didepan ayah dan ibu sambil berkata, Ayah aku tidak akan melanjutkan sekolah lagi, Aku sudah lulus SMA dan aku hanya ingin bekerja. Namun ayah menolak permintaan kakaku, Ayah akan berusaha untuk membiayai kalian berdua meski harus mengemis dijalanan. 

Tak ada yang tahu pada hari berikutnya sebelum subuh, Kakaku meninggalkan rumah dengan meninggalakan cacatan di bantal. Dik masuk ke SMA negeri tidaklah mudah, Dengan ijasah SMA ini kakak akan pergi mencari kerja dan kakak akan mengirimkan uang untuk kamu. Akupun memegang erat kertas tersebut sambil menangis hingga tertidur.

Dengan uang yang diperoleh oleh Ayah dengan cara meminjam ke saudara dan tetangga juga dari uang kakakku yang dihasilkan dari bekerja sebagai pengangkut semen. Akhirnya aku lulus dan bisa masuk ke universitas negeri yang dulu kakakku inginkan. Tahun ini aku berusia 19 tahun dan kakakku berusia 22 tahun.

Suatu hari aku sedang belajar di kamar kost, Lalu temanku datang dan memberitahukan bahwa ada seorang seperti pengemis sedang mencariku diluar. Aku keluar dari tempat kost dan melihat seseorang yang disekujur tubuhnya ditutupi semen dan kotoran debu yang ternyata dia adalah kakakku. Aku pun bertanya mengapa kamu tidak bilang bahwa kamu adalah kakaku. Namun dia menjawab dengan senyum, Lihat bagaimana penampilanku, Apa yang akan mereka pikir kalau kamu adalah adiku ? Apakah mereka tidak akan menertawakanmu.

Aku merasa sangat tersentuh dan air mata memenuhi mataku. Aku menyapu kotoran dan debu dari tubuh kakakku dan aku berkata aku tidak peduli apa yang orang akan katakan, Kamu adalah kakakku apapun penampilan kamu. Kemudia mengeluarkan sebuah laptop dari tasnya. Dia memberikan kepadaku dan berkata, Kakak melihat semua orang yang kuliah di universitas ini memakainya, Aku pikir kamu juga harus memiliki satu. Aku pun menangis dan memeluk kakakku, Aku tahu dia rela menghemat biaya hidupnya hanya untuk membelikan laptop untuku.

Setelah aku menikah, Aku tinggal di kota, Suamiku dan aku mengundang orang tuaku untuk datang dan tinggal bersama kami. Tetapi mereka tidak mau, Mereka mengatakan bila mereka meninggalkan desa, Mereka tidak tahu apa yang harus dilakukan di kota. Kakakku tidak setuju denganku, Dia mengatakan bahwa aku harus mengurus suamiku dan mertuaku saja, Biar Ayah dan Ibu kakak yang akan mengurunya.

Suamiku baru saja diangkat menjadi direktur diperusahaanya. Kami meminta kakaku untuk mau menerima tawaran menjadi manajer pada departemen pemeliharaan. Tapi kakak menolak tawaran itu, Dia bersikeras bekerja sebagai tukang pengangkut semen. Suatu hari kakakku tertimpa tumpukan semen sangat banyak, Lukanya cukup parah sehingga harus dikirim ke rumah sakit. Aku dan suamiku menjenguknya di rumah sakit, Melihat luka disekujur tubuhnya aku pun mengerutu dan berkata, Kenapa kamu menolak tawaran menjadi manajer? Manajer tidak akan melakukan sesuatu yang berat seperti itu. Sekarang lihat dirimu, Kamu menderita cedera serius. Namun kakakku berkata, Aku memikirkan adik iparku, Dia baru saja di angkat jadi direktur. Kalau saya yang tidak berpendidikan akan menjadi manajer, Berita seperti apa yang akan dikirimkan? Mata suamiku pun dipenuhi air mata dan kemudian aku berkata, Tapi kamu kurang pendidikan juga karena aku.  namun kakakku menjawab: Mengapa kamu berbicara tentang masa lalu ? Sambil dia memegang tanganku. Setelah beberapa hari dirawat dirumahsakit akhirnya kakakku meninggal. Selama sebulan hampir setiap hari aku menangisinya.

Kini aku dipuncak kejayaanku. Dalam sebuah acara seminar, Pembawa acara bertanya kepadaku. Siapakah orang yang anda hormati dan kasihi ? Bahkan tampa mengambil waktu untuk berfikir aku menjawab dengan lantang: Kakakku. Aku pun melanjutkan dengan menceritakan kembali sebuah kisah yang selalu kuingat. Ketika saya masih di sekolah dasar, Sekolah itu letaknya di sebuah desa yang berbeda. Setiap hari, Saya dan kakak harus berjalan selama 2 jam ke sekolah juga kembali ke rumah. Suatu hari saya kehilangan satu dari sepatuku. Kakakku memberiku sepatu miliknya. Dia hanya mengenakan satu sepatu milikku dan dia harus berjalan jauh. Ketika kami tiba dirumah, Kakinya begitu gemetaran karena menahan kesakitan. Sejak hari itu aku bersumpah bahwa selama hidup. Saya akan mengingat kakakku dan akan selalu baik kepadanya, Dialah yang telah menjadikanku sukses seperti ini. Tapi kini kakakku telah tiada, Semua orang mengalihkan perhatian mereka kepadaku. Aku merasa sulit untuk berbicara tapi aku lanjutkan. Dalam seluruh hidup saya yang saya ingin hanya mengucapkan terima kasih yang paling dalam untuk kakak saya.

Izinkan Aku Menciumu IBU

Cerita Sedih

Izinkan Aku Menciumu IBU

Cerita Sedih
Izinkan Aku Menciumu IBU

Sewaktu masih kecil, Aku sering merasa dijadikan pembantu olehnya. Ia selalu menyuruhku mengerjakan tugas-tugas seperti menyapu lantai dan mengepelnya setiap pagi dan sore. Setiap pagi aku dipasksa membantunya untuk memasak di pagi buta sebelum ayah dan adik-adiku bangun.

Bahkan sepulang sekolah dia tidak mengizinkanku untuk bermain sebelum pekerjaan rumah dibereskan. Sehabis makan, Aku pun harus mencucinya sendiri juga piring bekas masak dan piring-piring yang lain. Tidak jarang aku merasa kesal dengan semua beban yang diberikannya sehingga setiap kali mengerjakannya aku selalu bersungut-sungut.

Kini, Setelah dewasa aku mengeri kenapa dulu engkau melakukan itu semua. Karena aku juga akan menjadi seorang istri dari suamiku., Ibu dari anak-anakku yang tidak akan pernah lepas dari semua pekerjaan masa kecilku dulu. Terima kasih Ibu karena engkau aku menjadi istri yang baik dari suamiku dan Ibu yang dibanggakan oleh anak-anakku.

Saat pertama kali akau masuk sekolah di taman kanak-kanak, Ibu mengantarku hingga masuk ke dalam kelas. Dengans sabar ia menunggu, Sesekalu kulihat dari jendela kelas ia masih duduk di seberang. Aku tak peduli dengan setumpuk pekerjaan di rumah, Dengan rasa kantuk yang menderanya atau terik atau hujan. Yang penting aku senang ia menungguku sampai bel berbunyi.

Kini setelah aku besar, Aku malah sering meninggalkannya, Bermain bersama teman-teman, Berpergian tak penah aku menunggunya ketika ia sakit. Ketika ia membutuhkan pertolonganku disaat tubuhnya melemah, Saat aku menjadi dewasa aku meninggalkannya karena tuntutan rumah tangga.

Di usiaku yang menganjak remaja, Aku sering malu berjalan bersamanya. Pakaian dan dandannya yang kuanggap kuno jelas tak serasi dengan penampilanku yang trendi. Bahkan sering kali aku sengaja mendahuluinya berjalan satu-dua meter didepannnya agar orang tak menyangka aku sedang bersamanya.

Padahal menurut cerita orang, Sejak aku kecil Ibu memang tak pernah memikirkan penampilannya, Ibu tak pernah membeli pakaian baru, Apalagi perhiasan. Ia disisihkan semua untuk membelikanku pakaian yang bagus-bagus agar aku terlihat cantik, Ia juga pakaikan perhiasan di tubuhku dari sisa unag belanjan bulanannya.

Padahal aku juga tahu, Ia yang dengan penuh kesabaran, Kelembutan dan kasih sayang mengajariku berjalan. Ia mengangkat tubuhku ketika aku terjatuh, Membasuh luka di kaki dan mendekapku erat-erat saat aku menangis.

Selepas SMA ketika aku memasuki dunia baruku di perguruan tinggi. Aku semakin merasa jauh berbeda dengannya. Aku yang pintar, Cerdas dan berwawasan seringkali menggangap Ibu sebgai orang bodoh, Tak berwawasan hingga tak mengerti apa-apa. Hingga komunikasi yang berlangsung antara aku dengannya hanya sebatas permintaan uang kuliah dan segala tuntutan keperluan kampus lainnya.

Usai wisuda sarjana, Baru aku mengerti, Ibu yang kuanggap bodoh, Tak berwawasan dan tak mengerti apa-apa itu telah melahirkan anak cerdas yang mampu meraih gelar sarjananya. Meski Ibu bukan orang berpendidikan, Tapi doa disetiap sujudnya, Pengorbanan dan cintanya jauh melebihi apa yang sudah kuraih. Tampa Ibu aku tak akan pernah menjadi aku sekarang.

Pada hari pernikahanku, Ia menggandengku menuju pelaminan. Ia menunjukan bagaimana meneguhkan hati, Memantapkan langkah dan menuju dunia baru itu. Sesaat kupandang senyumnya begitu menyejukan, Jauh lebih indah dari keindahan senyum suamiku. Usai nikah, Ia langsung menciumku saat aku bersimpuh di kakinya. Saat itulah aku menyadari, Ia juga yang pertama kali memberikan kecupan hangatnya ketika aku terlahir ke dunia ini.

Kini setelah aku sibuk dengan urusan rumah tanggaku, Aku tak pernah lagi menjenguknya atau menanyakan kabarnya. Aku sangat ingin menjadi istri yang taat kepada suamiku hingga tak jarang aku membunuh kerinduanku pada Ibu.

Sungguh kini setelah aku mempunyai anak, Aku baru tahu bahwa segala kiriman uangku setiap bulan untuknya tak berarti dibanding kehadiranku untukmu. Aku akan datang dan menciummu Ibu meski tak sehangat cinta dan kasihmu kapadaku.

Ya Tuhan ampunilah aku dan kedua orangtuaku dan sayangilah mereka sebagaimana mereka menyayangi aku sewaktu aku masih kanak-kanak.

Rabu, 20 Januari 2016

Wanita Itu Adalah Ibuku

Cerita Sedih

Wanita Itu Adalah Ibuku


Kejadian ini terjadi di sebuah kota kecil di Taiwan, tahun pastinya sudah lupa. Dan sempat dipublikasikan lewat media cetak dan elektronik. Ada seorang pemuda bernama A be (bukan nama sebenarnya). Seorang anak yang cerdas, rajin dan cukup cool. Setidaknya itu pendapat kaum hawa yang mengenal dia. Baru beberapa tahun lulus dari kuliah dan bekerja di sebuah perusahaan swasta, dia sudah dipromosikan ke posisi manager. Gajinya pun lumayan.Tempat tinggalnya tidak terlalu jauh dari kantor.

Tipe orangnya yang humoris dan gaya hidupnya yang sederhana membuat banyak teman-teman kantor senang bergaul dengan dia, terutama dari kalangan perempuan single. Bahkan putri owner perusahaan tempat ia bekerja juga menaruh perhatian khusus pada A be.

Di rumahnya ada seorang wanita tua yang tampangnya seram sekali. Sebagian kepalanya botak dan kulit kepala terlihat seperti borok yang baru mengering. Rambutnya hanya tinggal sedikit di bagian kiri dan belakang. Tergerai seadanya sebatas pundak. Mukanya juga cacat seperti luka bakar. Wanita tua ini terlihat seperti monster yang menakutkan. Ia jarang keluar rumah bahkan jarang keluar dari kamarnya kalau tidak ada keperluan penting.

Wanita tua ini tidak lain adalah Ibu kandung A Be. Walau demikian, sang Ibu selalu setia melakukan pekerjaan routine layaknya ibu rumah tangga lain yang sehat, seperti membereskan rumah, pekerjaan dapur, cuci-mencuci (pakai mesin cuci) dan lain-lain. Bahkan wanita tersebut juga selalu memberikan perhatian yang besar kepada anak satu-satunya A be. Namun A be adalah seorang pemuda normal layaknya anak muda lain. Kondisi Ibunya yang cacat menyeramkan itu membuatnya cukup sulit untuk mengakuinya.

Setiap kali ada teman atau kolega business yang bertanya siapa wanita cacat dirumahnya, A be selalu menjawab wanita itu adalah pembantu yang ikut Ibunya dulu sebelum meninggal. “Dia tidak punya saudara, jadi saya tampung, kasihan.” jawab A be. Hal ini sempat terdengar dan diketahui oleh sang Ibu. Tentu saja ibunya sedih sekali. Tetapi ia tetap diam dan menelan ludah pahit dalam hidupnya. Ia semakin jarang keluar dari kamarnya, takut anaknya sulit untuk menjelaskan pertanyaan mengenai dirinya.

Hari demi hari kemurungan sang Ibu kian parah. Suatu hari ia jatuh sakit cukup parah. Tidak kuat bangun dari ranjang. A be mulai kerepotan mengurusi rumah, menyapu, mengepel, cuci pakaian, menyiapkan segala keperluan sehari-hari yang biasanya di kerjakan oleh Ibunya. Ditambah harus menyiapkan obat-obatan buat sang Ibu sebelum dan setelah pulang kerja (di Taiwan sulit sekali cari pembantu, kalaupun ada mahal sekali). Hal ini membuat A be menjadi  uring-uringan di rumah.

Pada saat ia mencari sesuatu dan mengacak-acak lemari ibunya, A be melihat sebuah box kecil. Di dalam box hanya ada sebuah foto dan potongan koran usang. Bukan berisi perhiasan seperti dugaan A be. Foto berukuran postcard itu tampak seorang wanita cantik. Potongan koran usang memberitakan tentang seorang wanita berjiwa pahlawan yang telah menyelamatkan anaknya dari musibah kebakaran. Dengan memeluk erat anaknya dalam dekapan, menutup dirinya dengan sprei kasur basah menerobos api yang sudah mengepung rumah.

Sang wanita menderita luka bakar cukup serius sedang anak dalam dekapannya tidak terluka sedikitpun. Walau sudah usang, A be cukup dewasa untuk mengetahui siapa wanita cantik di dalam foto dan siapa wanita pahlawan yang dimaksud dalam potongan koran itu. Dia adalah Ibu kandung A be. Wanita yang sekarang terbaring sakit tak berdaya.
Spontan air mata A be menetes keluar tanpa bisa dibendung. Dengan menggenggam foto dan koran usang tersebut, A be langsung bersujud disamping ranjang sang Ibu yang terbaring. Sambil menahan tangis ia meminta maaf dan memohon ampun atas dosa-dosanya selama ini. Sang ibupun ikut menangis, terharu dengan ketulusan hati anaknya. “Yang sudah-sudah nak, Ibu sudah maafkan. Jangan di ungkit lagi”. Setelah sembuh, A be bahkan berani membawa Ibunya belanja ke supermarket. Walau menjadi pusat perhatian banyak orang,  A be tetap tidak perduli.

Biar bagaimanapun ibu kita tetaplah ibu kita….sampai ajal menjemput tak ada kata mantan ibu maupun mantan anak…


Selasa, 19 Januari 2016

Aku Tak Sempat Memanggilmu Ayah

Cerita Sedih



 Ayah kandungku meninggal dunia, ketika aku berumur dua tahun. Ia meninggalkan aku, ibuku, dan adikku yang baru berusia 6 bulan. Kami hidup di desa terpencil. Belum ada listrik di desa kami, hanya orang mampulah yang sudah mengenyam listrik di sini, berbeda dengan keluargaku. Ayahku hanya petani desa dan ibuku hanya membantu panen ayahku jika musim panen tiba. Tapi, setelah ayahku meninggal tak ada lagi yang bisa kami gantungkan. Singkat cerita, setelah 2 tahun ibukku menjanda dan mengurus aku dan adikku sendirian. Ada seorang lelaki tinggi kekar berbadan tegap dengan membawa sebuah alat penghisap rokok kuno datang dan ku tahu ia bermaksud menyunting ibukku dan hendak menikahinya. Lelaki asing ini sama sekali belum pernah aku liat sebelumnya. Keesokan harinya, rumahku ramai sekali, aku tidak mengetahui jika itu adalah pesta pernikahan. Semua orang berkumpul, ibuku dan lelaki itu tampak cantik dan tampan sekali.Aku hanya tersenyum dan menyandangkan bahuku kepada Paman yang duduk di depan teras. Ia berkata, sekarang lelaki itu ayah barumu. Sontak aku terkaget dan bangun dari dada paman, aku tak mengerti arti perkataan paman itu dan paman hanya tersenyum pahit melihatku. Lelaki itu menikahi ibuku, dan lantas menjadi ayah tiriku. Ia bertanggung jawab pada penghidupan kami. Dia bekerja seperti halnya ayah kandungku, hanya seorang petani padi yang untung pada bulan panen saja. Hubungan kami dingin, tak layak seperti seorang ayah dan anaknya. Aku tahu ia tak seperti ayah tiri seperti yang ada di dongeng, bahkan ia sangat menyayangiku. Suatu hari, aku pulang sekolah dengan sangat lelah.

Sekolahku berjarak dua kilometer dari rumah dan harus berjalan kaki. Sesampainya aku dirumah, aku memanggil ibu dan tak ada jawaban. Aku mulai panic dan kulihat ibukku menangis meraung-raung di depan jemuran pakaian dan meremas-remas perutnya. Aku semakin panic, sakit maagh ibuku kambuh. Di rumah hanya adikku, ia sedang menggoreng tempe untuk makan siang kami sedangkan ayah tiri sedang berada di sawah.Aku menyuruh adikku menyusul si ayah tiri, sesaat kemudian ia dan adikku datang dengan tergesa-gesa. Dengan kaki berlumuran tanah dan bahkan tanpa alas kaki, ia berlari ke kamar dan langsung menggendong ibuku dan membawanya ke tempat mantri. Aku dan adikku menunggu ibu di rumah dengan cemas, aku berpikir mengapa ayah tiri begitu perhatian dengan ibu. Apa mungkin hanya ibu saja ia begitu ? Tak lama kemudian ibu dan ayah tiri pulang, ibu tersenyum dan menyuruhku mengambil penghisap rokok ayah tiri di sawah yang tertinggal. Aku hanya menuruti saja, karna hari memang sudah mulai malam. Tanpa hirau ku ambil sandal jepit lusuhku dari sisi kayu-kayu bakar dan mulai berjalan. Belum genap aku berjalan jauh, ada lelaki yang memanggilku dari kejauhan. Ternyata ayah tiri berdiri dan mulai mendekatiku. “mau apa kamu ? sudah biar saya yang ambil” ia berkata sembari menepuk pundakku. Aku hanya mengangguk dan berputar arah dan kembali ke rumah. Dalam hatiku baik sekali ia, ia sudah terlalu lelah di sawah lalu sempat mengurus ibu dan sekarang berniat mengambil penghisap rokok kesayangannya di sawah.

Dari dulu sampai sekarang aku memang benci dengan asap rokok. Sampai pada suatu hari aku berniat untuk menyembunyikan penghisap rokok milik ayah tiri dan berniat tak akan mengembalikannya. Setelah itu, ayah tiri tampak tak bergairah dan gelisah beberapa hari ini. Akhirnya setelah beberapa hari itu aku mengaku dan mengacungkan penghisap rokok itu pada ayah tiri, dan tiba-tiba ia menampar pipi kiriku hingga membekas, ia juga tampak sangat marah dan terlihat wajah kesal serta kecewa darinya. Aku menangis dan berlari pada ibu, ibu memelukku dan berkata penghisap rokok itu nyawa ayahmu lain kali yang sopan. Aku tak mengerti apa yang baru saja ibu katakan. Ayah tiri langsung pergi dan menyalakan api pada penghisap itu dan duduk di depan teras. Aku menghampiri nya dan mengintip lewat kaca saja apa yang ia lakukan. Ku perhatikan ia dengan seksama, lewat kepulan-kepulan asap yang kubenci itu berlinanglah air mata pada pipinya. Aku tak tau, mengapa ia menangis seperti itu. Sekilas aku melamun, tanpa kusadari adikku sudah berada di sampingku dan menyodorkan buku tulis lusuh serta pensil sebesar kelingking padaku. Ia menyenggolku,sontak aku terkejut dan jatuh terduduk di lantai pasir rumahku. “kak nomer ini bagaimana?” Tanya adikku dengan menunjuk soal nomer 3 yang ada di buku tulisnya. Ku rebut buku itu dan menyuruhnya masuk kekamar, aku akan menyusulnya.

Tatapan ayah tiri begitu bermakna, ia menatap awan senja dengan sesekali menghisap dan menyemburkan asap itu. Tatapan misteri, seorang ayah tiri yang hebat dan perkasa. Terkadang tatapan itu berubah seperti tatapan penuh dosa dan derita, derita panasnya matahari saat di sawah, derita hutang yang ia tanggung untuk keluarga yang ia naungi. Sekilas ia juga mengusap pipi lusuhnya dan menyeka keringat yang ada di dahinya yang berkerut. Kerutan-kerutan tragis yang seolah menggambarkan beberapa kebutuhan pokok yang belum terpenuhi keluarga dan harus ia penuhi. Sebagian peluh itu terjatuh membasahi kausnya, kaus lusuh berwarna putih kesayangannya yang sudah tak berbentuk. Banyak sekali yang sobek dan kumuh. Rasanya berat sekali beban yang di timpanya. Tetapi ia tetap tegar, tegap, dan kokoh layaknya ayah kandungku. Baru kusadari, selama hampir 12 tahun ibu menikah dengannya aku belum pernah sekalipun memanggilnya ayah, aku hanya memanggil eh atau woi padanya. *** Besok ada hari kelulusanku dan sudah waktunya aku untuk melanjutkan kuliah di kota. Tapi aku menyadari ekonomi keluarga kami pasti tak menyukupinya. Setelah aku mengikuti test di salah satu universitas di kota. “aku yakin bisa bu, aku yakin aku bisa.” Kataku pada ibu. “kami tak kan bisa membayarnya nak, kuliah itu mahal.” Jawab ibu polos. Aku hanya menunduk dan merasakan tepukan tangan ayah tiri pada pundakku, ia hanya menggumam dan kembali menghisap rokoknya. Aku memang sedih, mendengar perkataan ibu saja aku sudah pesimis, aku sadar aku tak punya. Keesokan harinya ayah tiri berteriak dan melompat-lompat kegirangan, buk anakku diterima. Aku, ibu, dan adik lantas menghampirinya. Ia memberikan surat pemberitahuan itu pada ibu dan ibu hanya mencoba untuk membacanya walaupun ia tak satupun mengenali huruf yang ada didalamnya bahkan kertasnya pun terbalik. Ku lihat senyum gembira, pada ayah tiri. Dan ia tampak bersemangat sekali hari ini, bahkan aku di tawarinya singkong bakar sore ini. Tak seperti biasa. Aku masuk kamar dan sekilas otakku mengulang kejadian tadi pagi dan “anakku” kenapa ia memanggilku “anakku” sudah jelas aku adalah anak dari ayah kandungku yang sudah meninggal.

Aku melamun jauh hingga menggumam. “anakku ? anakku ? anakku ?” gumamku. Tak terasa ibu sudah duduk dikasur, dan berkata tentulah kamu anaknya nak. Bahkan ia sangat ingin dipanggilmu ayah. Dia setiap malam berdo’a agar kau memanggilnya ayah, dia sangat menyayangimu. Ia sering berkata pada ibu, kapan kau bisa memanggilnya ayah, ia sangat ingin menggantikan ayah menjadi ayahmu selamanya. Aku menangis dan hanya diam, ibu keluar kamarku dan menutup kelambu kumuh sebagai pemisah tiap ruang rumah. Ayah tiri ingin sekali ku panggil ayah? perasaanku bimbang. Lusa adalah hari pertama aku kuliah dan kami belum membayar uang kuliahnya. Kalau sampai lusa belum membayar, aku akan di keluarkan dari tempat perkuliahan itu. Tabungan ayah tiri dan ibu pun terkumpul sebesar Rp. 2.300.000 padahal uang kuliahnya sebesar Rp. 3.000.000. uang dari mana kami bisa mendapatkannya ? ayah tiri memperhatikanku sedari kita makan, ia melihat mataku yang sedih, aku mulai kesal dan membuang piring makanku, langsung keluar rumah dan duduk di pos ronda depan rumah. Ayah tiri membuntutiku. “sudah gede, masih cengeng.” Kata ayah tiri dan duduk di teras rumah. Tanpa raut muka yang tenang dan penuh kedamaian, ia menghisap kembali rokoknya itu dan sesekali memonyongkan bibirnya untuk menyemburkan asap. Aku sempat kesal melihatnya. Tapi itulah dia, tatapan penuh misterinya kembali datang. Tak ada satupun orang yang mengetahui apa isi hatinya, yang pasti sedang gelisah sedih bagaimana ia mendapatkan kekurangan uang kuliahku. Hari ini aku bangun terlalu siang. Melihat seisi rumah kosong, entah kemana anggota keluargaku yang lain pergi. Jam dinding tua peninggalan kakek, sudah menunjukan pukul 11 siang. Hari sudah mendung, berbeda sekali hari ini. Tiba-tiba hujan datang, aku sontak mengambil ember untuk menopang air hujan yang bocor agar lantai tidak becek. Lalu ibu datang bersama ibuku, ia berkata. “siang sekali kau bangunnya, ayahmu sudah pergi dari tadi pagi sekali kekota untuk meminjam uang dipemda katanya.” Kata ibu sembari membawa sebuah bakul berisi singkong untuk menu makan malam kami nanti. Sore harinya, ayah pulang dengan senyuman semangat andalannya. Bajunya basah dan terlihat kusam. Mungkin karena basah dan sudah mulai kering lagi. Senyumannya membuatku lega, entah apa dan bagaimana ia dapatkan uang itu. Tapi yang penting ia telah kembali. Aku mengkhawatirkannya. Ibu menuangkan air hangat di ember kecil dan memasukan kaki ayah tiri di sana, pemandangan berubah seketika. Kaki itu penuh dengan luka, membengkak, dan menganga. Aku tahu ia harus berjalan kaki lebih dari 40 kilometer pulang pergi ke kota.

Pemandangan ini menyedihkan. Ku sadar, kini, ia tak lagi lelaki gagah berbadan tegap dan kuat. Ia berubah menjadi lelaki kurus, tua, dengan tangan dan kaki dipenuhi urat yang menonjol berwarna hijau. Kerutan dahinya semakin banyak. Menyedihkan sekali. *** Hari ini hari kuliah pertamaku, ayah tiri mengantarku ke tempat pemberentian bis dikota dengan sepeda. Ia menggoyah sepeda itu dengan susah payah, sedangkan aku hanya duduk diam dibelakangnya. Apalagi jalan desa kami naik turun, ayah tiri yang sudah tua ini sesekali menyeka peluhnya yang membasahi dahinya. Terlalu lelah ia mengantarku. Terkadang ia memanggil namaku dan diam. Dalam perjalan itu ia hanya memanggilku, seperti ada yang ingin ia katakan tapi tak bisa. Aku juga sama, aku ingin sekali memulai pembicaraan dan memanggilnya ayah tapi selalu gagal. Ketika sampai di tempat pemberentian bus, ia terlihat pucat pasi dan berkeringat banyak sekali. Aku menyuruhnya duduk tapi dia tak mau dan memilih memayungiku dengan daun pisang, karena hari itu memang sangat panas. Setelah bus menuju kota tiba, aku memasuki bus itu dengan penuh harapan. Aku menduduki jok kursi disebelah kiri hingga aku bisa melihat ayah tiri dari jendela. Tatapannya penuh dengan harapan, aku tak tega melihatnya, ia memandangi bus ini hingga jauh, terlihat dari kejauhan ia melambaikan tangannya pada bus ini. Dan mulai memutar balik sepedanya. Ia berjalan tertatih-tatih tanpa alas kaki. Ibu bilang, setiap kali aku harus membayar kuliah. Ayah selalu pergi ke kota untuk meminjam uang temannya. Hari ini aku libur kuliah, karna akan masuk semester akhir, semua orang berkumpul di rumah. Ayah tiri tampak senang sekali aku bisa pulang dengan selamat. Aku bercerita pada adikku, kehidupan di kota benar-benar berbeda, teman-temanku saja sudah membawa ponsel, laptop, hingga iPod, sedangkan aku radio pun tak punya. Sontak ayah tiri berdiri dan meninggalkan ruangan itu, ia menangis di kamar. Semua orang tak menghiraukannya, aku mendengar ia berkata, aku tak bisa memberinya yang pantas maafkan aku.

Ya tuhan, ia kecewa dengan perkataanku tadi.Ia menangisiku, ayah tiri bersedih. Lalu, ia keluar kamar dan menyulut rokoknya. Matanya masih merah, berair, mukanya pucat, tubuhnya kurus sekali. Ibu berkata, kapan kau akan memanggilnya ayah. Ia sangat menunggumu memanggilnya ayah. Aku hanya diam dan menunduk. *** Hari ini adalah hari wisudaku, nilaiku tertinggi. Tapi taka da satupun keluargaku yang datang, aku berjanji pada diriku sendiri setelah ini aku pulang dan memanggilnya ayah. Ketika sampai dirumah ibu memelukku, ibu berkata, ayah sudah dua hari yang lalu meninggal !! Aku menangis meraung-raung, aku ingin sekali mewujudkan do’anya dengan memanggilnya ayah. Ibu menyuruhku duduk dan ia mengambil kaleng kotak kuno dan menyuruhku membukanya. Ia berkata, bahwa itu berkas-berkas hutang dan mungkin menyuruhku untuk membayar hutang-hutang itu. Ku buka perlahan, memang benar ada 13 lembar kertas berisi…. ya tuhan berkas penjualan darah ? Ternyata selama ini ayah tiriku pergi jauh untuk menjual darahnya demi biaya kuliahku. Ibu tak mengetahuinya karna ia tak dapat membaca. Aku menangis, kaleng itu jatuh dari genggamanku. Aku berteriak, ayah…..ayah….. . kesedihan ini mendalam, sakit sekali. Aku rindu ayahku bukan ayah tiri lagi. Ayah, kembalilah. Lalu, ibu memberiku sepucuk surat padaku, iaberkata itu adalah tulisan adikmu dari pembicaraan ayah. “selamat pagi, anakku. Kamu sehat kan ? aku ingin sekali meminta maaf padamu karena dulu aku telah menamparmu. Jujur, hal itu tak bisa terlupakan olehku selama ini. Tolong maafkan aku. Aku terlalu kesal waktu itu, penghisap rokok itu bagaikan nyawaku.

Selamat kau telah mendapatkan wisudamu, aku bangga sekali padamu. Jaga ibu dan adikmu. Masalah berkas penjualan darah itu, kau jaga baik-baik, jangan sampai ibumu tau. Satu lagi anakku, betapa inginnya aku mendapat panggilan ayah darimu…aku ingin sekali menggantikan ayahmu..tapi mungkin itu tak mungkin…….semua orang tahu aku hanya ayah tirimu. Nak, harus kau tau betapa sayangnya aku padamu, betapa cintanya aku padamu. Selamat tinggal sayang… dari : Ayahmu… Ayah, ayah, aku terus menangis meraung-raung membaca tulisan itu. Aku juga sayang sekali sama ayah. Ibu lantas memeluku, ia bercerita tentang penghisap rokok itu. “Dulu ayahmu juga membenci rokok,penghisap itu milik ayahnya. Hubungan ibu dan ayahmu sudah lama, kami teman sepermainan. Tapi, hubungan ibu di tentang oleh kakek karena ayahmu terlalu miskin. Saat ayahmu melamar ibu, kakek memberikan mahar yang berat pada keluarga ayahmu. Lalu, demi melamar ibu ayahnya meminjam uang itu ke tempat tambang batu bara, naas kecelakaan merenggut nyawa ayahnya ayahmu dan meninggalkan sebuah penghisap rokok ayahmu itu. Lalu, ayahmu merantau untuk mencari uang mahar kakek. Akhirnya, ibu dipaksa menikah dengan ayah kandungmu. Ayahmu menunggu dan hidup sendirian selama 5 tahun dengan penghisap rokok itu. Waktu ayah kandungmu tiada, barulah ia berani menyunting ibu dan memutuskan tak memiliki anak lagi. Ia bertanggung jawab atas kamu dan adikmu.” Mendengar cerita ibu, aku merinding sekali. Ku remas surat dari ayah itu dan melepaskan pelukan ibu. Ayah, ada dan tiada dirimu aku mencintaimu. Terimakasih ayahanda atas semua jasa yang kau berikan, inilah salam cinta dariku Anandamu…

Senin, 18 Januari 2016

5 Kisah Pengorbanan Seorang Ayah Demi Anaknya

Cerita Sedih

5 Kisah Pengorbanan Seorang Ayah Demi Anaknya

Setiap orangtua tentu menginginkan yang terbaik bagi anaknya. Segala curahan perhatian dan kasih sayang orangtua tulus demi kebaikan sang buah hati. Kasih ibu sepanjang masa, kata orang. Tapi rasanya lebih tepat lagi, kasih orangtua sepanjang zaman. Itu artinya seorang ayah juga akan rela bekerja keras mencari nafkah, melakukan apa saja, demi keberlangsungan hidup keluarganya, untuk istri dan anak-anaknya. Beragam kisah pengorbanan ibu sudah sering diulas di berbagai media dalam berbagai kesempatan. Kali ini kisah perjuangan dan pengorbanan sosok ayah juga layak diangkat untuk kembali mengingatkan betapa orangtua akan berusaha sekuat tenaga untuk memberikan yang terbaik bagi anak-anaknya.

Seorang ayah di China bernama Hsiung Kuo, 71 tahun, mengorbankan nyawanya demi menyelamatkan putranya, Yong, 47 tahun, saat hampir dilindas truk di jalanan Kota Quanzhou. Dia mendorong anaknya sehingga dirinya yang terlindas truk itu. Polisi mengatakan bapak-anak itu sedang berjalan-jalan di tengah kota naik motor skuter ketika sebuah truk tiba-tiba melintas dan menabrak mereka berdua Saat truk itu hampir melindas tubuh mereka setelah menghantam skuter, sang ayah dengan berani masih berusaha mendorong anaknya menjauh dari roda truk. Meski saat roda truk sudah menggilas kakinya, Hsiung masih berupaya mendorong anaknya supaya tidak celaka. Beberapa detik kemudian roda truk itu melindas tubuh Hsiung hingga dia tewas seketika. Kejadian berlangsung dalam hitungan detik itu terekam sebuah kamera pengawas (CCTV). Petugas medis segera tiba di lokasi kejadian namun Hsiung dinyatakan tewas di tempat dan anaknya segera dirawat. Sopir truk yang dilaporkan kabur setelah menabrak bapak-anak itu kemudian berhasil ditangkap dan sedang diselidiki polisi.


Xia jun asal Provinsi Sichuan memiliki putra bernama Guo Guo masih usia dua tahun namun divonis menderita leukemia. Dia akhirnya dirujuk ke rumah sakit lebih besar dan lengkap di Ibu Kota Beijing. Tiga dokter mereka temui sama-sama menyarankan agar si bocah operasi transplantasi sumsum tulang belakang dan biayanya mencapai 1,4 miliar. Jun menjual seluruh harta bendanya, dia juga meminjam sejumlah uang hingga akhirnya cukup bagi Guo melakukan operasi. Namun ada masalah lain. Dokter mengatakan setelah dilakukan transplantasi tubuh bocah cilik itu bakal mengalami penolakan, infeksi, dan kambuh penyakit. Masa kritis ini bakal dilalui hingga 2,5 tahun. "Tahun pertama amat menentukan. Pengobatan selanjutnya sekitar Rp 800 juta," ujar dokter Wang Jingbo yang merawat Guo. Bingung cari uang akhirnya Jun nekat jadi karung tinju di sebuah jalan Beijing sambil menaruh kotak sumbangan. Dia memakai busana putih bertuliskan 'Sasak manusia, satu pukulan Rp 20 ribu'. Dia mempersilakan tiap orang menghajarnya. Cara Jun ini justru menyentuh hati warga Beijing. Banyak orang memberi sumbangan padanya bahkan menengok Guo di rumah sakit. Beberapa dari mereka malah bersedia membiayai pelbagai kebutuhan Guo hingga dewasa. "Masih banyak orang baik," ujar Jun.



Sebuah keluarga miskin di India mempunyai tiga orang anak kecil dengan tingkat obesitas yang sangat mengerikan. Anak termuda Harsh (1) berbobot 15 kilogram, Yogita Rameshbai (5) dengan berat 48 kilogram, dan Anisha (3 tahun) seberat 34 kilogram. Konsumsi yang mereka makan seminggu setara dengan porsi makan dua keluarga dalam satu bulan. Sang ayah, Rameshbai (34) kalang kabut memenuhi porsi makanan monster-monster kecilnya, dia berencana menjual ginjalnya demi mendapatkan uang agar porsi makan anak-anaknya tetap tercukupi. "Sebenarnya saya cemas akan kondisi anak-anak, pertumbuhan abnormalnya membuat mereka rentan terkena penyakit dan berujung pada kematian," ungkapnya. Diketahui, Yogita dan Anisha memakan 18 kue gandum pancake, 1,4 kilogram nasi, 2 mangkuk sup kaldu, 6 bungkus krupuk, 5 bungkus biskuit, 12 pisang dan satu liter susu perharinya. Kondisi seperti ini membuat sang ibu, Pragna Ben (30), menghabiskan seluruh waktunya hanya demi memenuhi rasa lapar anak-anaknya. "Setiap pagi dimulai dengan membuat 30 kue gandum, menyiapkan 1 kilogram sayur kari pada pagi hari, dan setelahnya melanjutkan memasak di daput untuk menu siang dan malam mereka," ungkapnya. Mereka mulai marah, berontak, dan tidak terkendali jika merasa kelaparan, atau porsi makan mereka kurang. Sebenarnya mereka mempunyai satu kakak perempuan, Rhavika (6) dengan kondisi normal berbobot 16 kilogram, ia sendiri heran mengapa adik-adiknya mempunyai bobot bak monster. Pada awal kelahiran Yogita sang ayah mengaku kondisinya sangat lemah dan bobotnya hanya 1,5 kilogram, maka dari itu mereka memberinya makan secara berlebih, dan pada ulang tahunnya yang pertama beratnya meledak hingga 12 kilogram.


Seorang ayah (38 tahun) di Kota Heifei, Cina, rela menjadi 'kuda-kudaan' di emperan jalan demi mengumpulkan kepingan receh untuk pengobatan sang anak tercintanya, yang menderita penyakit kanker sel darah putih atau Leukimia. Cara tak biasa yang dia lakukan ini dengan memakai topeng kuda dan menawarkan para pejalan kaki menaiki badannya layaknya kuda. Dia memasang tarif sebesar lima kuai atau setara dengan 12 ribu rupiah untuk sekali ditunggangi. Setelah putranya terdiagnosa Leukimia pada 2011, sang ayah membutuhkan biaya sebesar USD 32.000 atau setara dengan Rp 384 juta untuk membayar biaya pengobatan Kemoterapi sang anak. Tidak hanya itu dia pun masih harus membayar utangnya yang mencapai USD 26.000 atau setara dengan Rp 312 juta. Parahnya ketika Maret lalu kondisi sang anak makin kritis, sang ayah memohon pihak rumah sakit agar bisa merawat kondisi putra tercintanya lebih intens. Dalam foto yang sekarang viral di jejaring sosial ini, sang ayah rela berlutut membungkuk seperti kuda, dengan memasang poster besar bergambar sang anak yang terbaring lemah di rumah sakit, dan nomer rekeningnya bila ada donatur yang ingin menyumbang. Dalam poster itu juga bertuliskan 'sekali naik 5 Kuai, orang baik pasti akan naik'. Sang ayah mengaku aksinya mendapat simpati publik yang luar biasa, setiap hari ada saja donatur yang mengirimnya sejumlah uang bahkan ada yang sampai mendatanginya secara langsung dan menwarkan jumlah sumbangan yang tidak sedikit. Setelah kasus ini ramai, pihak Rumah Sakit mengklaim sudah berusaha membantu keluarga pria tak disebut namanya itu. Pemerintah kota setempat juga mengaku menyediakan program asuransi kesehatan yang menutup 95 persen dari total biaya perawatan putranya.


Seorang pria malang di Yunshan, Provinsi Yunnan, China, bernama Wei Shufu, berusaha menyelamatkan hidup anaknya. Dia mengumpulkan kayu kering, seikat tanaman obat, dan sebuah buku tentang obat-obatan. Wei Shufu rupanya membuat sebuah tempat tidur dari tanaman obat. Semua itu dia lakukan demi menyelamatkan anaknya perempuannya berusia enam tahun yang sakit anemia. Wei tidak mampu mengeluarkan biaya berobat seharga Rp 595 juta untuk menyembuhkan anaknya dengan cara transplantasi sumsum tulang. Meski tidak yakin dengan metode pengobatan tradisional, Wei tetpa mencoba menjalankan pengobatan dengan cara mengasapi anaknya. Anaknya selama ini menderita penyakit anemia yang bisa menyebabkan kematian jika tidak diobati. Foto memperlihatkan Wei tengah mengasapi anaknya kemudian beredar luas di Internet dan mengundang simpati dari pengguna dunia maya.  Sebuah yayasan amal di Beijing kemudian menggelar penggalangan dana buat membantu pengobatan anak Wei. Saat ini dana sudah terkumpul sebanyak Rp 19,8 juta.


Maafkan Aku Istriku

Cerita Mengharukan



Rina sedang menyiapkan makan malam ketika aku tiba di rumah. Aku memegang tangannya dan berkata, “ Abang ada sesuatu nak beritahu”. Dia membisu dan dapat ku lihat keresahan di matanya.

Tiba-tiba lidahku kelu. Tapi aku nekad untuk memberitahunya. “Abang rasa kita sudah tidak serasi lagi. Kita cerai?”.Akhirnya, terlepas jua beban di dada. Tapi ku lihat Rina tenang dan dia hanya bertanya dengan lembut. “Mengapa bang? Apa salah saya?”. Giliran aku membisu dan ini menimbulkan kemarahan Rina. Air matanya mula menitis. Aku tahu dia mahukan jawapan tapi aku tiada jawapannya. Yang ku tahu, hatiku kini milik Tasya. Cintaku bukan pada Rina lagi.

Aku katakanya padanya yang dia boleh ambil rumah dan kereta apabila kami bercerai. Rina merenung wajahku.Pandangannya kosong. 10 tahun kami berkahwin tetapi malam ni kami umpama orang asing. Aku kasihankannya tetapi untuk berpatah balik tidak sesekali. Aku cintakan Tasya. Air matanya yang sekian tadi bertakung mula mengalir deras. Sudah ku jangka. Malah aku lega melihatnya menangis. Niatku untuk bercerai semakin jelas dan nyata.

Keesokannya, Rina mengatakan dia tidak mahu apa-apa dari penceraian kami melainkan tempoh 1 bulan. Dia meminta bahawa dalam satu bulan itu kami teruskan rutin harian kami seperti biasa sebagai suami isteri. Alasannya, anak kami bakal menduduki peperiksaan dalam masa sebulan lagi dan dia tidak mahu anak kami terganggu dengan penceraian kami. Aku bersetuju.

Kemudian Rina menyuruhku mengingat kembali saat aku mendukungnya ke bilik kami pada malam pertama kami. Dia meminta untuk tempoh sebulan ini, aku mendukungnya keluar dari bilik tidur kami ke pintu depan setiap pagi. Pada ku memang tidak masuk akal. Tetapi aku tetap bersetuju.

Aku memberitahu Tasya permintaan Rina. Dia ketawa dan hanya mengatakan ini semua kerja gila. Tidak kira apa muslihat Rina, dia tetap akan diceraikan. Aku hanya diam membatu.

Semenjak aku menimbulkan isu penceraian, kemesraan kami terus hilang. Hari pertama aku mendukungnya keluar, aku merasa kekok. Rina juga. Anak kami bertepuk tangan di belakang sambil ketawa dan berkata, “Ayah dukung ibu ya”. Kata-katanya amat menyentuh hatiku. Mata Rina bergenang dan dengan lembut dia memberitahuku agar jangan sampai anak kami tahu yang kami akan bercerai. Aku mengangguk setuju. Aku menurunkannya di muka pintu. Dan kami memandu berasingan ke tempat kerja.

Masuk hari kedua, hilang sedikit rasa kekok. Rina bersandar di dadaku. Dapat ku cium harumannya. Dapat ku lihat kedutan halus di wajahnya Aku sedar dia tidak muda lagi seperti dahulu. Ternyata perkahwinan kami memberi kesan kepadanya. Selama satu minit, aku tertanya-tanya apa yang telah aku lakukan.

Masuk hari keempat, aku dapat rasakan keintiman kami telah kembali. Tanpa sedar hatiku berkocak mengatakan mungkinkan cintaku masih padanya. Hari kelima dan keenam, aku menyedari keintiman kami mula bercambah kembali. Aku tidak memberitahu Tasya tentang perkara ini. Masuk hari-hari seterusnya, rutin ini jadi lebih mudah malah aku nantikannya setiap pagi.

Suatu pagi, Rina sedang memilih baju untuk dipakai. Katanya tiada yang sesuai. Dia mengeluh. “Semua baju saya besar”. Baru ku sedar, dia semakin kurus. Mungkin itu jugalah sebabnya aku semakin mudah mendukungnya. Tiba-tiba terlintas di fikiranku. Mungkin Rina sedang menyembunyikan keperitan hatinya lantaran sikapku selama ini. Tanda sedar aku merangkul tubuhnya dan membelai rambutnya.

Kemudian, muncul anak kami di muka pintu sambil berkata “ Ayah, cepat lah dukung ibu keluar”. Padanya, melihat aku mendukung keluar isteriku setiap pagi adalah rutin hariannya. Rina memanggil anak kami lalu memeluknya erat. Ku palingkan mukaku kerana takut aku sndiri mengubah fikiran di saat ini. Aku kemudian mendukungnya dan tangannya melingkari leherku. Tanpa sedar, ku eratkan rangkulanku. Dapat ku rasakan badannya sangat ringan.

Hari ini genap sebulan. Di muka pintu aku menggenggam tangannya dan berkata “ Abang tidak sedar yang selama ini kita kurang keintiman”. Aku terus melangkah ke kereta dan terus memandu ke pejabat. Sesampainya di pejabat, aku terus ke bilik Tasya. Sebaik pintu terbuka, aku masuk dan aku beritahu dia “Maaf Tasya. Saya tidak akan bercerai dengan Rina. Sekarang saya sedar saya masih cintakan dia”.

Muka Tasya berubah merah. Tapi ku kata jua,“Maaf Tasya. Saya dan Rina tidak akan bercerai. Perkahwinan kami membosankan mungkin kerana saya tidak menghargai apa yang kami ada dan kongsi selama ini, bukan kerana kami tidak lagi menyintai satu sama lain”. Tasya menjerit sekuat hati dan aku terus melangkah keluar.

Aku kembali ke kereta dan niat hatiku mahu pulang ke rumah dan memohon maaf dari Rina, isteriku. Aku singgah di sebuah kedai bunga untuk membeli sejambak tulip merah kesukaan Rina. Aku capai sekeping kad dan ku tulis, “Abang akan dukung Rina setiap pagi hingga maut memisahkan kita”.

Setibanya di rumah, aku terus berlari ke bilik kami dan mendapati Rina terbaring tenang di atas katil. Ku belai wajahnya sambil memanggil namanya tapi tiada sahutan. Rina kaku. Hatiku berdetak keras.

Kini Rina pergi untuk selamanya. Perpisahan yang ku pinta ternyata ditunaikan. Sekian lama Rina berperang dengan KANSER RAHIM tetapi aku begitu sibuk dengan Tasya untuk menyedarinya. Rina tahu bahawa dia akan mati tidak lama lagi dan dia mahu menyelamatkan aku daripada reaksi negatif dari anak kami, sekiranya kami tetap bercerai. Rina mahu sekurang-kurangnya di mata anak kami, aku adalah suami yang penyayang.

Perkara-perkara mudah dan ringkas yang anda lakukan bersama adalah yang sebenarnya penting dalam perkahwinan. Bukan banglo, kereta, harta, dan wang di bank. Semua itu hanya wujudkan persekitaran yang kondusif untuk kebahagiaan tetapi tidak dapat memberi kebahagiaan pada kita.

Jadi carilah masa untuk menjadi sahabat kepada isteri/suami anda dan lakukan perkara-perkara kecil untuk satu sama lain yang membina keintiman. Binalah kemanisan rumah tangga anda. Hargailah setiap pengorbanan pasangan anda.

Maafkan Bella Ayah

Cerita Sedih



Seperti biasanya, sepulang dari sekolah, Bela mengajak beberapa temannya untuk mampir ke rumahnya. Mereka pun langsung masuk ke dalam kamar Bella tanpa menemui Ayah Bela yang sedang terbaring lemas di ranjang. Lalu, Bella memilih kaset dan memasukkannya ke
dalam tape radio serta menyetelnya dengan suara yang cukup keras. Mereka sangat menikmati musik tersebut tanpa mempedulikan ayah Bella yang sedang sakit. Karena tak tahan dengan kelakuan Bella dan teman-temanya, Ganis, kakak Bella pun keluar dari kamar ayahnya dan menuju ke kamar adiknya itu. Pintu kamar yang tak terkunci itu pun langsung didorongnya dengan wajah kesal.

“Bella!! Kecilin suara musiknya dong!! Ayah kan lagi sakit! Sudah pulang enggak salaman dulu sama ayah, sekarang kamu malah buat kegaduhan!”, bentak Ganis.

"Dia itu bukan ayah kita, kak! Lagi pula, dia aja enggak protes, kok malah kakak sich yang protes!?”, sahut Bella melawan bentakan Ganis.

"Kakak tahu! Dia memang bukan ayah kandung kita, tapi dia sudah lama tinggal sama kita dan berusaha untuk menjadi ayah tiri yang baik. Jadi, kamu harus menghormati dia juga dong Bel!!", kata Ganis menasehati adiknya.

"Ayah kamu lagi sakit, Bel? Pantasan, tadi dia enggak ngajar matematika. Kok, kamu enggak bilang sich Bel?! Kita jenguk ayah kamu aja yuk!?", sela seorang teman Bella.

"Jenguk aja sendiri!!", tolak Bella langsung mengusir teman-temannya dan mengunci rapat pintu kamarnya.

"Bella!! Kamu kok gitu sich!? Jangan egois dong!!", tambah teman Bella yang lainnya.

"Biarin aja! Udah sana, kalian jenguk aja tuh guru kesayangan kalian! Aku mau sendirian aja di kamar!!", bentak Bella.

Tak terdengar balasan dari balik pintu kamar Bella yang terkunci. Ganis beserta teman-teman Bella pun berjalan menuju kamar ayah tanpa mempedulikan Bella.

Pukul 20.00 WIB, waktunya makan malam bersama di rumah Bella. Namun, Bella enggan keluar dari kamarnya. Sudang dipanggil berkali-kali, ia tetap saja mengurung diri di kamarnya. Ini memang sudah menjadi kejadian yang lumrah di rumah Bella. Semenjak ayah kandungnya meninggal meninggal dunia dan digantikan oleh ayah tirinya dua tahun yang lalu, sikap dan sifat Bella menjadi berubah. Ia tak mau mengganggap ayah tirinya sebagai ayah, apalagi untuk memanggil "Ayah", terasa ada sesuatu yang mengganjal di tenggorokannya. Padahal, ayah tirinya bukan monster seperti yang ada di televisi-televisi. Ayah tirinya termasuk orang yang baik dan sabar dalam menghadapi tingkah laku Bella.

"Kok, enggak dimakan Yah?”, tanya Ganis yang mendapati ayahnya sedang termenung meratapi makanan yang ada di piring.

"Ayah mau nunggu Bella, Nis", jawab ayah dengan suara parau. “Bella enggak akan keluar Yah! Udah, ayah makan duluan aja ya?! Nanti, kalau dia udah mulai kelaparan juga keluar sendiri”.

“Iya, ayah makan aja duluan. Biar cepat sembuh. Nanti, makanan Bella biar bunda yang antar ke kamarnya”, tambah bunda.

Mereka pun melahap santapan makan malam tanpa kehadiran Bella. Seusai makan malam, bunda mengantar makanan ke kamar Bella.

“Bella . . . ini bunda antarkan makan malam kamu. Kamu pasti sudah laparkan?”. Tak terdengar sedikit jawabanpun dari mulut Bella.

Aku ambil makanannya enggak ya?? Malas akh!! Nanti aku ambil sendiri aja di ruang makan. Pokoknya, kalau aku lagi marah, enggak boleh tanggung-tanggung, harus seharian. Kalau perlu sampai besok! Biar om-om itu nyadar, kalau kehadirannya di sini cuma ngerepotin keluarga aku.

“Bella!?”, seru bunda.
“Aku udah kenyang bun! Aku enggak mau makan!”.
“Ya sudah”, sahut bunda singkat.

Sekitar tengah malam, perut Bella mulai keroncongan. Bella pun mengendap-endap keluar dari kamarnya menuju ke ruang makan. Dibukanya tudung saji yang tertutup rapi, namun hanya terdapat nasi dan telur dadar. 

“Lauknya kok cuma telur dadar sich? Bunda enggak masak atau lauk yang lainnya udah pada habis . . .?!”, tanya Bella pada dirinya sendiri.

“Kamu lapar juga, Bel!?”, kaget bunda dari belakang. “Udah enggak!! Habis, lauknya cuma telur dadar sich!!”. “Bunda tadi enggak sempat masak, Bel. Soalnya, bunda harus jagain ayah kamu. Tadi, suhu tubuhnya tinggi lagi. Lagi pula, uang bunda sudah tinggal sedikit”, ujar bunda.

“Dia lagi-dia lagi!! Heran ya, kok pada ngebelain dia semua sich?! Dipelet kali ya!!?? Lagian, sakit-sakitan terus sich!! Jadinya ngabisin uang bunda dech! Kalau jadi guru honorer tuh, harus rajin ngajar! Jangan tiduran mulu!!”, ejek Bella.

“Bella!! Kalau ngomong tuh dipikir-pikir dulu ya!? Jangan asal nyeplos aja!!”, bentak bunda.

Bella pun berlari meninggalkan bundanya menuju kamar dan membanting pintu kamarnya dengan sekuat tenaga. Bunda sudah tidak tahu harus bagaimana lagi menasehati putri bungsunya itu. Seisi rumahpun terkejut mendengarnya. Ganis langsung keluar dari kamar dan menghampiri bunda. Bunda menangis dalam dekapan Ganis.

“Udah, bunda jangan nagis lagi ya . . . ?! Bunda kan tahu sendiri bagaimana sikap Bella sekarang ini. Dia udah enggak seramah dulu lagi. Berubah drastis bun . . .”, kata Ganis.

Bunda melepas dekapan itu. “Ya sudah, bunda mau mengecek kondisi ayah kamu lagi ya . . .?!”.
"Iya"
Kemudian, bunda dan Ganis pun kembali ke kamarnya masing-masing.

“Bella marah-marah lagi ya, Bun? Pasti gara-gara ayah. Saya memang bukan ayah yang baik buat Bella. Saya sudah merepotkan kamu. Besok, saya akan mengajar lagi. Saya tidak mau kalau gaji kamu habis untuk membeli obat saya”, kata ayah dengan suara pelan.

“Ayah enggak boleh bilang kayak gitu. Lebih baik ayah istirahat dulu, mengajarnya cuti saja”. “Besok saya tetap akan mengajar”, kata ayah mantap.

Tiga hari sudah, ayah tidak mengajar matematika di SMU di mana Bella bersekolah. Setelah kejadian semalam, ayah pun memaksakan diri untuk pergi mengajar, walau kondisi kesehatannya belum pulih benar, saat mengajar di kelas Bella, Bella menunjukkan paras yang tidak senang atas kehadiran ayah tirinya itu. Bella memang tak pernah memperhatikan ayahnya ketika menjelaskan pelajaran. Sepulang sekolah, Bella mencoba menyetir mobil milik temannya di jalan yang cukup sepi. Kerena belum terbiasa menyetir mobil, pandangan mata Bella kurang fokus ke depan. Tiba-tiba ada seorang bapak sedang melintas menggunakan sepeda motor butut. Bella yang menyetir sambil berbicang-bincang dengan teman-temannya itu, tiba-tiba hilang kendali dan akhirnya,

PLASH..... sepeda motor itu ditabraknya. Bella dan teman-teman pun keluar dari dalam mobil. Mulut Bella bagai gawang yang kebobolan bola. Ia terkejut, ternyata orang yang ditabraknya tak lain adalah ayah tirinya sendiri. Bella panik bukan main dan langsung melarikan diri.

"Bella!! Dia ayah kamu! Kamu harus bawa dia ke rumah sakit, Bel!!”, teriak salah seorang teman Bella.

“Aku takut!! Nanti kalau aku ditangkap polisi gimana?!”.

“Bel, kamu harus tanggung jawab dong! Dia itu ayah kamu, Bel!! Kamu enggak akan ditangkap polisi kalau kamu bawa dia ke rumah sakit!”.

“Dia bukan ayah aku!! Aku enggak mau bawa dia ke rumah sakit!”, tolak Bella.

“Dia emang bukan ayah kandung kamu! Tapi dia tetap ayah yang harus kamu sayangi, Bel . . . Dia mungkin juga bukan ayah yang terbaik bagi kamu, pti dia udah berusaha untuk menjadi yang terbaik buat kamu dan keluarga kamu! Kami ngeliat ketulusan dari mata dia kok, Bel! Kalau beliau itu sayang sama kamu. Dia ayah kamu! Dan dia juga guru kita! Kalau dia enggak tertolong lagi, kita enggak bisa ngerasain enaknya belajar matematika lagi, Bel! Sadar dong Bel!!”, nasehat temannya.

Mendengar nasehat temannya itu, hati Bella luluh. Di lubuk hatinya yang terdalam, di memori pikirannya yang jauh, Bella memikirkan kebaikan ayah tirinya itu. Dari kesabarannya, kebaikannya, keikhlasannya, dan ketabahannya dalam menghadapi Bella. Dengan cpat, Bella dan teman-temannya membawa ayah ke rumah sakit terdekat. Bella langsung menghubungi bunda dan kakaknya. Bunda, Bella, Ganis, dan teman-teman Bella khawatir dengan keadaan pasien itu. Dokter pun langsung menangani ayah dengan serius. Beberapa jam kemudian, dokter keluar dari ruangan untuk memberitahu keadaan ayah. Dan ayah pun sudah tersadar. Mereka semua masuk ke dalam ruangan untuk menjenguk ayah. Bella berlari dan memeluk hangat tubuh ringkih ayahnya seraya meneteskan air mata yang sempat tertahan di bola mata indahnya.

“Maafin Bella ya, Yah!? Bella enggak sengaja nabrak ayah”, jujur Bella.

Bellla yang awalnya tidak mau bercerita dengan keluarganya, akhirnya menceritakan kejadian yang sebenarnya. Awalnya, bunda ingin mengusir Bella, namun ayah mencegahnya.

“Bel, ayah senang . . . kamu sudah bisa panggil saya ayah. Ayah ikhlas ditabrak kamu, asalkan akhirnya kamu bisa menerima dan panggil saya dengan sebutan ayah”. Sebegitu besarnya pengharapan ayah kepadaku!? Aku emang jahat banget ya!?  kata Bella dalam lubuk hatinya.

“Ayah harus lekas sembuh, ya!? Biar bisa ngajar matematika lagi”.
“Iya, nak . . .”.

Bella seperti tak ingin lepas dari pelukan ayahnya itu,. Bunda dan Ganis pun memeluk ayah dan Bella. Tak lama berpelukan, Bella pun melepaskan diri dari dekapan keluarganya itu.

“Bella janji, Bella akan panggil ayah sekarang dan sampai kapan pun juga. Aku udah lama enggak ngucapin kata ayah. Aku kangen sama sosok seorang ayah. Maafin Bella ya, Yah!?”.

“Kamu enggak perlu minta maaf. Ayah sayang sama kalian. Ayah akan berusaha untuk menjadi seorang ayah yang terbaik buat keluarga ini, khususnya untuk kamu dan kakak kamu. Walau mungkin, ayah enggak akan pernah bisa untuk menggantikan ayah kandung kalian”. Bella dan Ganis menjabat erat tangan ayahnya.

“Bella sayang sama ayah. Maafin Bella, Yah!?”, ucap Bella sekali lagi.
“Kami juga sayang sama pak guru!! Hehehehehe . . .”, tambah teman-teman Bella.

Ayah dan bunda hanya tersenyum lega. Akhirnya, Bella tersadar juga, bahwa betapa sabarnya sang ayah untuk menantinya menyambut ayah tirinya. Sekarang dan seterusnya, Bella akan memanggil “ayah” kepada ayah tirinya dan hidup bahagia bersama keluarganya. Wala memang, ayah itu bukan ayah kandungnya.

“Sekali lagi, maafin Bella, Yah!?!”.

Semua Sudah Terlambat

Cerita Mengharukan



Sebut saja namaku Putri, aku berusia 25 tahun saat kisah ini terjadi. Kisahku mungkin klise, aku jatuh cinta pada seorang pemuda bernama Panji. Dia adalah kakak kelasku saat kami masih sekolah di SMA yang sama. Saat kelas tiga, dia pindah ke kota lain. Tetapi takdir mempertemukan kami kembali di kampus yang sama, saat kami menempuh kuliah S2. Ada satu hal yang selalu aku simpan dalam hatiku, aku jatuh cinta padanya. Sejak masih duduk di bangku SMA, aku selalu curi-curi pandang ketika jam istirahat. Kadang aku sengaja pamit ke toilet hanya untuk melihatnya bermain basket saat kelasnya ada pelajaran olahraga. Walaupun hanya menatapnya selama 5 menit, rasanya kebahagiaanku penuh sepanjang hari.

Remaja selalu malu-malu mengungkapkan isi hatinya, apalagi aku yang memang punya sifat pemalu. Hampir tidak ada sinyal cinta yang aku kirim padanya. Aku tidak seberani teman-temanku yang bisa titip salam atau terang-terangan mengatakan suka pada cowok yang mereka suka. Jadilah aku memendam perasaanku. Mungkin ini masih cinta monyet, yang akan memudar seiring berjalannya waktu. Dan suatu saat kelak, aku akan benar-benar jatuh cinta di tingkat yang lebih serius dengan pria lain. Nyatanya perkiraanku salah. Walaupun saat kuliah S1 aku sempat berpacaran dengan pria lain (namanya Yanuar), aku tetap meletakkan kenangan akan Panji dalam hatiku.

Singkat cerita, saat aku mengambil S2, aku bertemu lagi dengan Panji. Takdir tersebut membawaku pada rahasia yang terpendam. Hatiku kembali berdetak, kembali merasakan indahnya jatuh cinta hanya dengan menatap kedua matanya. Perasaan yang tidak pernah aku rasakan dengan Yanuar. Beberapa kali kami berada di kelas yang sama. Dia masih Panji yang ramah dan suka bercanda. Hubungan kami tetap dekat, tapi tetap saja, tidak ada keberanian untuk mengungkapkan rasa cintaku padanya. Bagaimana aku bisa menyatakan perasaanku, ada Yanuar yang masih menjadi pacarku. Egois memang, aku bahkan sering merasa bersalah pada Yanuar, tapi aku tidak bisa membohongi hatiku.

Jika saja Panji mengajakku untuk jadi kekasihnya, atau bahkan istrinya, aku tidak akan menolak. Sayangnya, takdir yang mempertemukan kami harus berakhir. Suatu hari, di sebuah musim penghujan di akhir bulan Desember, Panji mengalami kecelakaan. Dua hari dia dirawat di UGD, tetapi nyawanya tidak tertolong. Dia pergi selama-lamanya. Duniaku hancur, setiap inci tubuhku menjerit akan kepergiannya, aku bahkan tidak bisa lagi merasakan sakitnya hatiku, seolah ada bagian tubuhku yang hilang, jika diibaratkan, aku bagai guci yang pecah berkeping-keping. Aku hadir dalam pemakamannya. Aku hadir dalam setiap acara doa yang dilakukan keluarganya setiap malam. Di duka yang teramat sangat, ibu Panji memintaku untuk menemaninya, setelah para tamu pulang.


"Mbak, mbak ini temannya Panji yang namanya Putri kan?" ujar wanita tua itu. Aku bisa melihat ada duka mendalam di balik senyumnya. Aku mengangguk, lalu wanita itu mengajakku ke sebuah ruangan, yang menurutnya adalah kamar Panji. Wanita itu menceritakan sebuah rahasia yang tidak aku ketahui.
"Anak ibu.. Panji, dia pernah bilang bahwa dia suka dengan Putri, cinta," lanjutnya.
Detik demi detik berlalu, aku mendengarkan pengakuan ibu Panji bahwa putranya ternyata memendam rahasia. Ternyata selama ini Panji melakukan hal yang sama denganku, diam-diam merahasiakan perasaannya. Bahkan sejak masih di bangku SMA.

"Waktu itu Panji pernah bilang, sekarang Putri sudah punya pacar, mungkin harus menunggu nak Putri putus dulu, baru dia berani jujur," lanjut ibu Panji dengan air mata yang jatuh dari pelupuk matanya. Aku tidak bisa menahan air mataku, aku menangis di dalam pelukan ibu Panji. Aku menangis hingga dadaku terasa ingin meledak. Aku menyesal, sangat menyesal. Aku tidak sempat mengatakan bagaimana perasaanku padanya. Hingga detik ini, penyesalan itu masih ada. Masih mengganjal di dalam lubuk hatiku yang terdalam. Rasanya bahkan jauh lebih berat dibandingkan saat Panji masih hidup.

Minggu, 17 Januari 2016

Pahitnya Nasibku | Bandar Bola Piala Eropa

Bandar Bola Piala Eropa



Kenalkan namaku rara aku dari pulau lombok, terlahir dalam keluarga serba sederhana tanpa ayah. Aku hanya punya ibu yang sekaligus menjadi ayah buatku. aku 5 bersodara, 3 laki dan 2 cewek, aku anak ke4. ayahku meninggal saat umur ku 1 setengah tahun, sedangkan adikku si bungsu umur 8 bln. aku dan sodaraku taunya makan dan main saja. mata pencarian ibuku hanya setiap harinya hanya berbekal sebilah pisau dan galah bambu, karna memang tak ada peninggalan ayah yang berharga. dengan galah dan pisau itu ibuku berusaha mengambil daun pisang dari kebun orang yang kadang di beli dengan harga murah atau sekedar jadi imbalan membersihkan kebun mereka, dan banyak juga yang simpati atas keadaan kami sehingga tiap orang panen kami selalu di beri zakat beras. dalam keluargaku hanya aku yang lulus SD dan selalu ranking pertama dikelasku. ibuku selalu tersenyum bila aku pulang bawa rapotku dengan nilai bagus.

pukul 3 pagi ibuku selalu pergi kepasar membawa daun pisang menaiki becak dengan perjalanan kepasar 4 jam dari rumah. ibu selalu berpesan saat dia berangkat kepasar, kalau adik jangan dibiarkan nangis bahkan adek jangan dibiarkan melihat orang lagi makan. aku selalu bawa adikku kesekolah karna takut dia nangis kalau aku tinggal dirumah sendirian, karna waktu itu rumah tetangga sling berjauhan. Namun sebelum berangkat, ibuku tak pernah lupa untuk membungkuskan aku 2 potong ubi atau jagung kering yang digoreng tanpa minyak. disekolah aku sering jadi ejekan teman-temanku, karna baju dan rok yang kupakai banyak sekali jaitan sana jait sini, bahkan tak pernah diganti, karna Kami memang tak punya uang untuk membeli pakaian baru, untuk makan saja susah apalagi untuk membeli seragam baru, apalagi penghasilan ibuku cuma dibayar dengan sekilo beras sehari.

kadang aku nangis karna malu sama ejekan temanku yang bilang aku kaki ayam tak pernah pakai sepatu. saudaraku rata-rata berhenti sekolah karna uang SPP yang tak bisa dibayar ibu, sedangkan aku bisa bersekolah karena yang bayar SPPku istri pak guru, karna tiap hari kalu bel keluar main aku kerumahnya untuk cuci piring dan periuknya sambil aku jaga adik ku. karna rumahnya didalam area sekolahku. saat aku kelas 1 SD aku masih ingat betul masa itu. tepatnya hari minggu lebaran 3 hari lagi. pagi itu mendung, ibu mengajakku ke kebun untuk ambil daun pisang, ya aku ikut aja ma adikku. pas tengah asik2nya aku main dekat api yang dibuat ibu agar kami gak digigit nyamuk. hujan turun deras sekali, aku dan adiku nangis karna gak ada tempat berteduh ibuku cepat2 lari kasih daun pisang untuk berteduh, saking buru-burunya memotong daun pisang tangan ibuku nyaris putus kena pisau. 

ibuku nangis karna kesakitan dan aku juga gak tau harus berbuat apa. bila ku ingat masa-masa itu aku sering menangis, dan saat sekarang aku sudah dewasa aku ingin membahagiakan ibuku apa pun caranya yang penting halal dan tak berlawanan dengan hukum agama. saat ini Aku jauh dari ibu dan adikku sekarang berada di negri orang jadi pekerja kebun.
ibu aku rindu
adik aku rindu

Jumat, 15 Januari 2016

Ayah, Aku Rindu Pada Ibu | Bandar Bola Piala Eropa

Bandar Bola Piala Eropa



Bandar Piala Eropa - Empat tahun yang lalu, kecelakaan telah merenggut orang yang kukasihi, sering aku bertanya-tanya, bagaimana keadaan istriku sekarang di alam surgawi, baik-baik sajakah? Dia pasti sangat sedih karena sudah meninggalkan seorang suami yang tidak mampu mengurus rumah dan seorang anak yang masih begitu kecil. Begitulah yang kurasakan, karena selama ini aku merasa bahwa aku telah gagal, tidak bisa memenuhi kebutuhan jasmani dan rohani anakku, dan gagal untuk menjadi ayah dan ibu untuk anakku. Pada suatu hari, ada urusan penting di tempat kerja, aku harus segera berangkat ke kantor, anakku masih tertidur. Ohhh aku harus menyediakan makan untuknya. Karena masih ada sisa nasi, jadi aku menggoreng telur untuk dia makan. Setelah memberitahu anakku yang masih mengantuk, kemudian aku bergegas berangkat ke tempat kerja. Peran ganda yang kujalani, membuat energiku benar-benar terkuras. Suatu hari ketika aku pulang kerja aku merasa sangat lelah, setelah bekerja sepanjang hari. Hanya sekilas aku memeluk dan mencium anakku, aku langsung masuk ke kamar tidur, dan melewatkan makan malam. Namun, ketika aku merebahkan badan ke tempat tidur dengan maksud untuk tidur sejenak menghilangkan kepenatan, tiba-tiba aku merasa ada sesuatu yang pecah dan tumpah seperti cairan hangat! Aku membuka selimut dan….. di sanalah sumber ‘masalah’nya … sebuah mangkuk yang pecah dengan mie instan yang berantakan di seprai dan selimut!

Agen Piala Eropa 2016 - Oh…Tuhan! Aku begitu marah, aku mengambil gantungan pakaian, dan langsung menghujani anakku yang sedang gembira bermain dengan mainannya, dengan pukulan-pukulan! Dia hanya menangis, sedikitpun tidak meminta belas kasihan, dia hanya memberi penjelasan singkat: “Ayah, tadi aku merasa lapar dan tidak ada lagi sisa nasi. Tapi ayah belum pulang, jadi aku ingin memasak mie instan. Aku ingat, ayah pernah mengatakan untuk tidak menyentuh atau menggunakan kompor gas tanpa ada orang dewasa di sekitar, maka aku menyalakan mesin air minum ini dan menggunakan air panas untuk memasak mie. Satu untuk ayah dan yang satu lagi untuk saya . Karena aku takut mie’nya akan menjadi dingin, jadi aku menyimpannya di bawah selimut supaya tetap hangat sampai ayah pulang. Tapi aku lupa untuk mengingatkan ayah karena aku sedang bermain dengan mainanku, aku minta maaf,ayah … “ Seketika, air mata mulai mengalir di pipiku, tetapi, aku tidak ingin anakku melihat ayahnya menangis maka aku berlari ke kamar mandi dan menangis dengan menyalakan shower di kamar mandi untuk menutupi suara tangisku. Setelah beberapa lama, aku hampiri anakku, kupeluknya dengan erat dan memberikan obat kepadanya atas luka bekas pukulan dipantatnya, lalu aku membujuknya untuk tidur. Kemudian aku membersihkan kotoran tumpahan mie di tempat tidur. Ketika semuanya sudah selesai dan lewat tengah malam, aku melewati kamar anakku, dan melihat anakku masih menangis, bukan karena rasa sakit di pantatnya, tapi karena dia sedang melihat foto ibu yang dikasihinya.

Agen Piala Eropa - Siapa Yang Bisa Nahan Air Mata, Jika Baca Kisah Berikut ini 
Satu tahun berlalu sejak kejadian itu, aku mencoba, dalam periode ini, untuk memusatkan perhatian dengan memberinya kasih sayang seorang ayah dan juga kasih sayang seorang ibu, serta memperhatikan semua kebutuhannya. Tanpa terasa, anakku sudah berumur tujuh tahun, dan akan lulus dari Taman Kanak-kanak. Untungnya, insiden yang terjadi tidak meninggalkan kenangan buruk di masa kecilnya dan dia sudah tumbuh dewasa dengan bahagia. Namun, belum lama, aku sudah memukul anakku lagi, saya benar-benar menyesal. Guru Taman Kanak-kanaknya memanggilku dan memberitahukan bahwa anak saya absen dari sekolah. Aku pulang kerumah lebih awal dari kantor, aku berharap dia bisa menjelaskan. Tapi ia tidak ada dirumah, aku pergi mencari di sekitar rumah kami, memangil-manggil namanya dan akhirnya menemukan dirinya di sebuah toko alat tulis, sedang bermain komputer game dengan gembira. Aku marah, membawanya pulang dan menghujaninya dengan pukulan-pukulan. Dia diam saja lalu mengatakan, “Aku minta maaf, ayah“. Selang beberapa lama aku selidiki, ternyata ia absen dari acara “pertunjukan bakat” yang diadakan oleh sekolah, karena yg diundang adalah siswa dengan ibunya. Dan itulah alasan ketidakhadirannya karena ia tidak punya ibu. Beberapa hari setelah penghukuman dengan pukulan rotan, anakku pulang ke rumah memberitahuku, bahwa disekolahnya mulai diajarkan cara membaca dan menulis. Sejak saat itu, anakku lebih banyak mengurung diri di kamarnya untuk berlatih menulis,aku yakin , jika istriku masih ada dan melihatnya ia akan merasa bangga, tentu saja dia membuat saya bangga juga!

Agen Bola Piala Eropa - Waktu berlalu dengan begitu cepat, satu tahun telah lewat. Tapi astaga, anakku membuat masalah lagi. Ketika aku sedang menyelasaikan pekerjaan di hari-hari terakhir kerja, tiba-tiba kantor pos menelpon. Karena pengiriman surat sedang mengalami puncaknya, tukang pos juga sedang sibuk-sibuknya, suasana hati mereka pun jadi kurang bagus. Mereka menelponku dengan marah-marah, untuk memberitahu bahwa anakku telah mengirim beberapa surat tanpa alamat. Walaupun aku sudah berjanji untuk tidak pernah memukul anakku lagi, tetapi aku tidak bisa menahan diri untuk tidak memukulnya lagi, karena aku merasa bahwa anak ini sudah benar-benar keterlaluan. Tapi sekali lagi, seperti sebelumnya, dia meminta maaf : “Maaf, ayah”. Tidak ada tambahan satu kata pun untuk menjelaskan alasannya melakukan itu. Setelah itu saya pergi ke kantor pos untuk mengambil surat-surat tanpa alamat tersebut lalu pulang. Sesampai di rumah, dengan marah aku mendorong anakku ke sudut mempertanyakan kepadanya, perbuatan konyol apalagi ini? Apa yang ada dikepalanya? Jawabannya, di tengah isak-tangisnya, adalah : “Surat-surat itu untuk ibu…..”. Tiba-tiba mataku berkaca-kaca. …. tapi aku mencoba mengendalikan emosi dan terus bertanya kepadanya: “Tapi kenapa kamu memposkan begitu banyak surat-surat, pada waktu yg sama?” Jawaban anakku itu : “Aku telah menulis surat buat ibu untuk waktu yang lama, tapi setiap kali aku mau menjangkau kotak pos itu, terlalu tinggi bagiku, sehingga aku tidak dapat memposkan surat-suratku. Tapi baru-baru ini, ketika aku kembali ke kotak pos, aku bisa mencapai kotak itu dan aku mengirimkannya sekaligus”. Setelah mendengar penjelasannya ini, aku kehilangan kata-kata, aku bingung, tidak tahu apa yang harus aku lakukan, dan apa yang harus aku katakan.

Bandar Bola Piala Eropa - Aku bilang pada anakku, “Nak, ibu sudah berada di surga, jadi untuk selanjutnya, jika kamu hendak menuliskan sesuatu untuk ibu, cukup dengan membakar surat tersebut maka surat akan sampai kepada mommy. Setelah mendengar hal ini, anakku jadi lebih tenang, dan segera setelah itu, ia bisa tidur dengan nyenyak. Aku berjanji akan membakar surat-surat atas namanya, jadi saya membawa surat-surat tersebut ke luar, tapi…. aku jadi penasaran untuk tidak membuka surat tersebut sebelum mereka berubah menjadi abu. Dan salah satu dari isi surat-suratnya membuat hati saya hancur ‘ibu sayang’, Aku sangat merindukanmu! Hari ini, ada sebuah acara ‘Pertunjukan Bakat’ di sekolah, dan mengundang semua ibu untuk hadir di pertunjukan tersebut. Tapi kamu tidak ada, jadi aku tidak ingin menghadirinya juga. Aku tidak memberitahu ayah tentang hal ini karena aku takut ayah akan mulai menangis dan merindukanmu lagi. Saat itu untuk menyembunyikan kesedihan, aku duduk di depan komputer dan mulai bermain game di salah satu toko. Ayah keliling-keliling mencariku, setelah menemukanku ayah marah, dan aku hanya bisa diam, ayah memukul aku, tetapi aku tidak menceritakan alasan yang sebenarnya. Ibu, setiap hari aku melihat ayah merindukanmu, setiap kali dia teringat padamu, ia begitu sedih dan sering bersembunyi dan menangis di kamarnya. Aku pikir kita berdua amat sangat merindukanmu. Terlalu berat untuk kita berdua. Tapi bu, aku mulai melupakan wajahmu. Bisakah ibu muncul dalam mimpiku sehingga aku dapat melihat wajahmu dan ingat kamu? Temanku bilang jika kau tertidur dengan foto orang yang kamu rindukan, maka kamu akan melihat orang tersebut dalam mimpimu. Tapi ibu, mengapa engkau tak pernah muncul ? Setelah membaca surat itu, tangisku tidak bisa berhenti karena aku tidak pernah bisa menggantikan kesenjangan yang tak dapat digantikan semenjak ditinggalkan oleh istriku